Tuesday, July 31, 2018

Serpihan Pasir

“In everybody’s life there’s a point of no return. And in a very few cases, a point where you can’t go forward anymore. And when we reach that point, all we can do is quietly accept the fact. That’s how we survive.”
“And once the storm is over, you won’t remember how you made it through, how you managed to survive. You won’t even be sure, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm, you won’t be the same person who walked in. That’s what this storm’s all about.”
― Haruki Murakami, Kafka on the Shore


Kadang aku ga ngerti kenapa aku lemah sama hal-hal kayak gini.
I mean, it's not even my problem.
But here I am, staying awake, unable to sleep, and trying to let all of this emotion go by writing this post.
So that I can stop the urge to cry and feel the misery.

Rasanya ga cuma bikin aku feeling hopeless, tapi juga bikin aku merasa restless dan nelangsa.
Jauh lebih hopeless dibanding waktu sesenggukan nonton My Mister.
Pengen teriak buat ngelepasin emosi, tapi apa daya cuma bisa netesin air mata.


Mungkin, kerna ini ga cuma di drama tapi di kehidupan nyata.
Bukan cerita baru, bahkan sebenarnya udah berlalu.
Tapi ntah lah, kok ya hidup gini amat ya.
Kalo aku yang dengar aja rasanya gini, gimana orang yang ngejalani.
Ya Allah, mungkin aku ga akan kuat.
Ngebayanginnya aja aku ga kuat.


Tapi ya memang hakekat manusia adalah makhluk yang punya kemampuan survival.
Mungkin kerna itu disebutkan bahwa "Allah ga akan ngasih cobaan yang ga bisa diatasi hamba-Nya".
Ketika kamu mampu mengatasi hal besar, tanpa kamu sadari kamu juga sudah bertambah besar untuk melaluinya.

Apalah aku ini, yang sekarang jadi ngerasa ternyata masalah-masalahku mungkin cuma serpihan pasir di lautan.
Share: