Wednesday, March 06, 2024

Fast Forward to 2024

Gila ya, 2019 udah 5 tahun lalu. Been married for 5 years and now I have 2 babies! Amazing, eh. Just got another one last October. My dearest baby boy. Namanya Wira. Wira Aditya Wibisono. Ayahnya yang kasih nama. Katanya mau anaknya jadi orang Jawa. Oke. Sebenernya mamaknya punya usulan beberapa nama tapi ga ada yang cocok di ayahnya. Trus yaudah I let him choose. Don't really matter as long as it has a good meaning toh. Kakak Nala udah 3 tahun, so far being a very good sister and of course, a toddler. Being a mother of two is really challenging, begitu juga being a sister at 3yo. Jadi setiap hari selalu belajar manage emosi diri sendiri dan membantu si kakak manage her own emotion as well. Selalu belajar membaca perilakunya, kenapa dia begini, kenapa dia begitu. Biar ga salah menanggapinya. Kadang sedih kalo lihat Nala sedih karena pengen main sama mamaknya tapi mamak masih sibuk nyusui atau nidurkan adik. Kadang dia nerima dengan baik, tapi kadang ga. Kuncinya sebenernya shower of love. Jadi ibu itu harus punya cinta dan kasih sayang yang berlimpah-limpah dan ditunjukin ke anaknya. Make them feel the love. Itu yang kadangan masih naik turun. Ya gimana ya jadi orang yang 24h 7 days a week selalu full of love. I wish I can. But I will always try my best. Semoga kakak Nala dan adek Wira tumbuh besar jadi anak yang kuat, sehat, dan full of love ya.
Share:

Thursday, June 10, 2021

Kapan Bersyukurnya?

Barusan temen deket cerita keterima kerja di international organisation. Alhamdulillah, setelah 2 tahun lebih kerja serabutan akhirnya dapat kerjaan tetap. Memang manusia itu ya bisanya usaha dan usaha sambil berdoa. Coba kalo dia nyerah tahun lalu atau beberapa bulan lalu, ga tau kapan bakal bisa start to settle down hidupnya. Mana beban ekspektasi orang tua amat sangat besar. Sejujurnya mau sedeket apapun, tetep aja pas denger kabar baik itu ada rasa nyes di dada. "Wah, keren, aku kapan ya bisa begitu.", "Wa, pengen ih kerja juga.", "Hmm, do I less worth than any other woman who has a career?", "What will my life be if I didn't decided to get married and have a family of my own?", etc etc. Panjang lah kalo dicatet satu satu. Padahal kalo dipikir dari sisi lain, banyak orang yang pengen ada di posisi ini. Menikah, punya anak, punya suami yang sangat bisa diandalkan. Ga pusing mikirin KPR rumah. Hidup tenang tanpa perlu mikir besok belanja pakai uang apa. Siang kalo gerah tinggal masuk kamar nyalain AC. Mau kemana-mana ya tinggal berangkat aja. Mau jajan tinggal buka hape, order gofood atau grabfood. Banyak banget lah yang harusnya disyukuri.
Share:

Thursday, September 05, 2019

Destiny

" Try to remember the kind of September
When life was slow and oh, so mellow
Try to remember the kind of September
When grass was green and grain was yellow
Try to remember the kind of September
When you were a tender and callow fellow
Try to remember and if you remember
Then follow, follow.."

- The Brothers Four


Hei, udah September aja ya.
Where have I been..haha
Well, I've been married. YES! M-A-R-R-I-E-D. For more than 4 months already :)
Can you believe it?
Me neither.
Apalagi sama mas Bambang. Ga pernah nyangka. Hehe
And for someone who ever doubted in marriage and stuff like destiny, I am still amazed at what had happened.
But don't worry, I've been happy :)
and I know that we made the right decision as I can see that he feels it too :)
Thank God.

Heran ya, kok bisa sih berubah pikiran semudah itu.
Aku juga heran kok.
It's just that he made me change the way I think of it.
Dia sendiri juga punya pikiran yang hampir sama sebelumnya, to live alone for the rest of his life.
But maybe something/someone made him changed his mind. I don't know for sure which one plays a bigger role.
I think everything played as a puzzle to the future (or present). It won't be complete without either one.
Maybe that is called destiny.

"It is not in the stars to hold our destiny but in ourselves." - William Shakespeare


NB:
Maapin ga share foto ya. Banyak temen yang bete kayaknya kerna ga dikasih foto atau ga diizinin share foto.
Sejujurnya kita berdua sama-sama benci sama acara nikahan. Dari awal udah kepengen buat ga bikin acara tapi ya gimana.
Terlebih lagi acara sebagian besar mesti sesuai dengan apa yang dimau mamake.
Yang mana agak ga sejalan sama selera aku (harap maklum, drama2 begini pasti selalu ada katanya setiap mau nikah).
Salah satu yang bikin ga sreg adalah make up artist yang aku rasa bikin orang jadi kayak lenong
(maap Buk, tapi memang saya juga ga cantik Buk. wkwk)
Jadi ya maklumlah kalo ku tak mau foto lenong uwe tersebar di dunia dihital dan menjadi milik khalayak ramay.
Kalo bisa itu foto semua dibasmi dari muka bumi. wkwkwkw
Mas juga ga suka difoto.
Album foto kita tinggalin di rumah mertua. hahaa
Vidio ga pernah kita puter.
Mungkin nanti kalo udah tua trus kangen masa muda dan mau ngetawain muka sendiri, bakal ditonton.
Share:

Wednesday, February 13, 2019

Dram Dram Drama

"I cannot tell what you and other men
Think of this life; but, for my single self,
I had as lief not be as live to be
In awe of such a thing as I myself."
- Julius Caesar



Sebenernya udah tau dari dulu.
Tapi hari ini kembali tersadarkan.
Bahwa memang setiap orang punya drama hidup masing-masing.
Kalo dilihat-lihat ulang, ya memang my life is full of drama.
Drama that noone knows unless I told them myself.
Dan kalo dilihat lebih teliti, setiap orang telah/sedang menjalani drama hidupnya masing-masing.

And it is everyone's desire to find someone who is fully aware of this and is willing to be in it with you.


Yah, beginilah, me and my drama life.
I think you should have known 80% of it by now.
Hope you are still as excited as you ever been to spend the rest of it with me :))
Cheers for the not-so-fuc*ed-up life.
Share:

Thursday, October 11, 2018

Kamis Pagi di Stasiun Sudirman

Kuputuskan berangkat pagi benar.
Sebelum matahari mulai menyengat dan kelembaban meningkat seiring dengan peningkatan emosi.
Naik commuter adalah satu-satunya alasan yang paling rasional, walau kadang kurang 'manusiawi'.
Setengah 6 sepertinya waktu yang tepat sebelum puncak ketidakmanusiawian jalur commuter yang akan aku naiki.
Walau harus menanggung resiko menunggu 1 jam lebih.
Resiko yang sekali lagi lebih manusiawi dibanding harus berdesakan diantara campuran aroma bedak, sabun, parfum dan minyak angin.
Berjuang nyari tumpuan dan pijakan.

Dan setengah 6 terbukti adalah waktu yang tepat untuk naik commuter dari daerah Jakarta Selatan yang kata anak Jaksel tergolong Depok ini.



Kuputuskan duduk nunggu di kursi peron.
Masih mengutuk ketidakbecusan lembaga pemerintah yang akan aku datangi.
Demi selembar A4 yang ga kunjung selesai berminggu-minggu.


Di ujung kursi satunya duduk Bapak-Bapak udah lumayan berumur.
Tinggi sedang, badan bisa dibilang agak sedikit kurus, kulit keriput gelap terbakar matahari.
Celana bahan hitam, sendal hitam, dan jaket kain berwarna hitam merah dengan sejumlah huruf di bagian punggung.
Beliau turun dari kereta yang berhenti setelah kereta yg aku naiki.
Duduk sekitar 10 menitan.
Sesekali terlihat memijati kakinya.


Sementara di peron seberang terlihat seorang Bapak yang lebih muda dari Bapak di sebelah ku ini.
Kaos lengan pendek dengan warna kuning pudar, celana pendek, dan sendal jepit.
Tertidur pulas bersandar pilar iklan di peron stasiun.
Di lantai, tanpa alas.



Setiap 5-15 menitan kereta berhenti dan ratusan manusia berhamburan keluar dari gerbong.
Pria, wanita. Tua, muda. Modis, sederhana.
Kebanyakan mengenakan headset, masker, atau jalan sambil melihat handphone.
Mungkin lagi mesen ojol.
Kebanyakan terlihat mengenakan ransel, yang beberapa bisa dibilang terlihat usang.
Sebagian lain dengan handbag berkulit sintetis yang banyak di jual di pasar maupun salah satu mall yang hampir setiap hari masang diskon gede2an.
Hanya 1 2 yang terlihat dengan tas ber-label internasional brand berharga jutaan rupiah.
Sama halnya dengan sepatu/sendal yang dikenakan.

Ga sedikit yang bawa ransel dengan beban yang lumayan.
Atau goodiebag dengan ukuran bervariasi dari satu orang dan orang lain.
Sepertinya kebanyakan berisi bekal makan siang.
Terlihat juga penumpang yang membawa troli (papan beroda yang ditarik tangan) yang di atasnya diletakkan tas goni plastik bentuk kotak (yang dulu waktu kuliah aku juga pake buat isi barang, berguna untuk pindahan).
Ntah apa isinya.


Lama aku duduk.
Melihat ribuan langkah cepat dan tergesa-gesa.
Ribuan langkah yang beresonansi, sarat akan tujuan yang kurang lebih sama:
belanja harian, uang sekolah anak, kredit kendaraan, dan kredit rumah


Kemudian aku teringat cuplikan video di timeline medsos yang menginterview sejumlah mahasiswa di Jabodetabek mengenai the money value of the fashion yang mereka kenakan.
Jujur aku tercengang ketika melihat clip tersebut.
Mahasiswa2 yang diinterview di clip ini, ketika di total, mulai dari kepala sampe kaki, yang mereka kenakan bisa bernilai puluhan hingga ratusan juta.
Bahkan salah satunya mengenakan jam tangan dengan harga ratusan juta.
WTF.



Dalam hati masih aja bertanya kenapa Allah menciptakan manusia.
Share: