Kuputuskan berangkat pagi benar.
Sebelum matahari mulai menyengat dan kelembaban meningkat seiring dengan peningkatan emosi.
Naik commuter adalah satu-satunya alasan yang paling rasional, walau kadang kurang 'manusiawi'.
Setengah 6 sepertinya waktu yang tepat sebelum puncak ketidakmanusiawian jalur commuter yang akan aku naiki.
Walau harus menanggung resiko menunggu 1 jam lebih.
Resiko yang sekali lagi lebih manusiawi dibanding harus berdesakan diantara campuran aroma bedak, sabun, parfum dan minyak angin.
Berjuang nyari tumpuan dan pijakan.
Dan setengah 6 terbukti adalah waktu yang tepat untuk naik commuter dari daerah Jakarta Selatan yang kata anak Jaksel tergolong Depok ini.
Kuputuskan duduk nunggu di kursi peron.
Masih mengutuk ketidakbecusan lembaga pemerintah yang akan aku datangi.
Demi selembar A4 yang ga kunjung selesai berminggu-minggu.
Di ujung kursi satunya duduk Bapak-Bapak udah lumayan berumur.
Tinggi sedang, badan bisa dibilang agak sedikit kurus, kulit keriput gelap terbakar matahari.
Celana bahan hitam, sendal hitam, dan jaket kain berwarna hitam merah dengan sejumlah huruf di bagian punggung.
Beliau turun dari kereta yang berhenti setelah kereta yg aku naiki.
Duduk sekitar 10 menitan.
Sesekali terlihat memijati kakinya.
Sementara di peron seberang terlihat seorang Bapak yang lebih muda dari Bapak di sebelah ku ini.
Kaos lengan pendek dengan warna kuning pudar, celana pendek, dan sendal jepit.
Tertidur pulas bersandar pilar iklan di peron stasiun.
Di lantai, tanpa alas.
Setiap 5-15 menitan kereta berhenti dan ratusan manusia berhamburan keluar dari gerbong.
Pria, wanita. Tua, muda. Modis, sederhana.
Kebanyakan mengenakan headset, masker, atau jalan sambil melihat handphone.
Mungkin lagi mesen ojol.
Kebanyakan terlihat mengenakan ransel, yang beberapa bisa dibilang terlihat usang.
Sebagian lain dengan handbag berkulit sintetis yang banyak di jual di pasar maupun salah satu mall yang hampir setiap hari masang diskon gede2an.
Hanya 1 2 yang terlihat dengan tas ber-label internasional brand berharga jutaan rupiah.
Sama halnya dengan sepatu/sendal yang dikenakan.
Ga sedikit yang bawa ransel dengan beban yang lumayan.
Atau goodiebag dengan ukuran bervariasi dari satu orang dan orang lain.
Sepertinya kebanyakan berisi bekal makan siang.
Terlihat juga penumpang yang membawa troli (papan beroda yang ditarik tangan) yang di atasnya diletakkan tas goni plastik bentuk kotak (yang dulu waktu kuliah aku juga pake buat isi barang, berguna untuk pindahan).
Ntah apa isinya.
Lama aku duduk.
Melihat ribuan langkah cepat dan tergesa-gesa.
Ribuan langkah yang beresonansi, sarat akan tujuan yang kurang lebih sama:
belanja harian, uang sekolah anak, kredit kendaraan, dan kredit rumah
Kemudian aku teringat cuplikan video di timeline medsos yang menginterview sejumlah mahasiswa di Jabodetabek mengenai the money value of the fashion yang mereka kenakan.
Jujur aku tercengang ketika melihat clip tersebut.
Mahasiswa2 yang diinterview di clip ini, ketika di total, mulai dari kepala sampe kaki, yang mereka kenakan bisa bernilai puluhan hingga ratusan juta.
Bahkan salah satunya mengenakan jam tangan dengan harga ratusan juta.
WTF.
Dalam hati masih aja bertanya kenapa Allah menciptakan manusia.
0 comments:
Post a Comment