Thursday, October 11, 2018

Kamis Pagi di Stasiun Sudirman

Kuputuskan berangkat pagi benar.
Sebelum matahari mulai menyengat dan kelembaban meningkat seiring dengan peningkatan emosi.
Naik commuter adalah satu-satunya alasan yang paling rasional, walau kadang kurang 'manusiawi'.
Setengah 6 sepertinya waktu yang tepat sebelum puncak ketidakmanusiawian jalur commuter yang akan aku naiki.
Walau harus menanggung resiko menunggu 1 jam lebih.
Resiko yang sekali lagi lebih manusiawi dibanding harus berdesakan diantara campuran aroma bedak, sabun, parfum dan minyak angin.
Berjuang nyari tumpuan dan pijakan.

Dan setengah 6 terbukti adalah waktu yang tepat untuk naik commuter dari daerah Jakarta Selatan yang kata anak Jaksel tergolong Depok ini.



Kuputuskan duduk nunggu di kursi peron.
Masih mengutuk ketidakbecusan lembaga pemerintah yang akan aku datangi.
Demi selembar A4 yang ga kunjung selesai berminggu-minggu.


Di ujung kursi satunya duduk Bapak-Bapak udah lumayan berumur.
Tinggi sedang, badan bisa dibilang agak sedikit kurus, kulit keriput gelap terbakar matahari.
Celana bahan hitam, sendal hitam, dan jaket kain berwarna hitam merah dengan sejumlah huruf di bagian punggung.
Beliau turun dari kereta yang berhenti setelah kereta yg aku naiki.
Duduk sekitar 10 menitan.
Sesekali terlihat memijati kakinya.


Sementara di peron seberang terlihat seorang Bapak yang lebih muda dari Bapak di sebelah ku ini.
Kaos lengan pendek dengan warna kuning pudar, celana pendek, dan sendal jepit.
Tertidur pulas bersandar pilar iklan di peron stasiun.
Di lantai, tanpa alas.



Setiap 5-15 menitan kereta berhenti dan ratusan manusia berhamburan keluar dari gerbong.
Pria, wanita. Tua, muda. Modis, sederhana.
Kebanyakan mengenakan headset, masker, atau jalan sambil melihat handphone.
Mungkin lagi mesen ojol.
Kebanyakan terlihat mengenakan ransel, yang beberapa bisa dibilang terlihat usang.
Sebagian lain dengan handbag berkulit sintetis yang banyak di jual di pasar maupun salah satu mall yang hampir setiap hari masang diskon gede2an.
Hanya 1 2 yang terlihat dengan tas ber-label internasional brand berharga jutaan rupiah.
Sama halnya dengan sepatu/sendal yang dikenakan.

Ga sedikit yang bawa ransel dengan beban yang lumayan.
Atau goodiebag dengan ukuran bervariasi dari satu orang dan orang lain.
Sepertinya kebanyakan berisi bekal makan siang.
Terlihat juga penumpang yang membawa troli (papan beroda yang ditarik tangan) yang di atasnya diletakkan tas goni plastik bentuk kotak (yang dulu waktu kuliah aku juga pake buat isi barang, berguna untuk pindahan).
Ntah apa isinya.


Lama aku duduk.
Melihat ribuan langkah cepat dan tergesa-gesa.
Ribuan langkah yang beresonansi, sarat akan tujuan yang kurang lebih sama:
belanja harian, uang sekolah anak, kredit kendaraan, dan kredit rumah


Kemudian aku teringat cuplikan video di timeline medsos yang menginterview sejumlah mahasiswa di Jabodetabek mengenai the money value of the fashion yang mereka kenakan.
Jujur aku tercengang ketika melihat clip tersebut.
Mahasiswa2 yang diinterview di clip ini, ketika di total, mulai dari kepala sampe kaki, yang mereka kenakan bisa bernilai puluhan hingga ratusan juta.
Bahkan salah satunya mengenakan jam tangan dengan harga ratusan juta.
WTF.



Dalam hati masih aja bertanya kenapa Allah menciptakan manusia.
Share:

Friday, August 31, 2018

Trivia 承: Love

Produced by Hiss Noise, Slow Rabbit & RM
Album BTS - Love Yourself 結 'Answer'



Is this love
Is this love
Sometimes I know
Sometimes I don't
The next lyrics, um
What should I write, um
Too many words circle around me
But none of them feel how I feel

I just feel it
Like the moon rises after the sun rises
Like how fingernails grow
Like trees that shed their bark once a year
That you are the one who will give meaning to my memories
Who will make a 'person' into 'love'
Before I knew you
My heart was filled with straight lines only

I'm just a human, human, human
You erode all my corners
And make me into love, love, love
We're humans, humans, humans
In that myriad of straight lines
My love, love, love
When you sit on top of it and you become my heart

I live so I love
I live so I love
(Live & love, live & love)
(Live & love, live & love)
I live so I love
I live so I love
(Live & love, live & love)
(If it's love, I will love you)

You make I to an O
I to an O
Because of you
I know why human and love sound similar
You make live to a love
Live to a love
Because of you
I know why a person should live by love

It's a long way from I to U
Fuck, JKLMNOPQRST
I crossed all the letters and I reached you
Look, mine and yours also sound the same
Though that doesn't make me you
I want to be part of your bookcase
I'd like to be involved in your novel
As a lover

I'm just a human, human, human
You erode all my corners
And make me into love, love, love
We're humans, humans, humans
In that myriad of straight lines
My love, love, love
Sit on top of it and it becomes a heart

I live so I love
I live so I love
(Live & love, live & love)
(Live & love, live & love)
I live so I love
I live so I love
(Live & love, live & love)
(If it's love, I will love you)

What if I go?
If I go, would you be sad?
If I wasn't me, what would I be?
Do you think you'll leave me after all?

Wind, wind, wind blowing by
(I just hope not)
People, people, people that will pass by
(I just hope not)
My mood is blue, blue, blue
(In my head, it's blue from top to bottom)
How much I love you
How much, much, much

You're my person, my person, my person
You're my wind, my wind, my wind
You're my pride, my pride, my pride
You're my love (my love)
One and only love (only love)

You're my person, my person, my person
You're my wind, my wind, my wind
You're my pride, my pride, my pride
You're my love (my love)
One and only love (only love)

(source:genius.com)



Note:
Love and people/human are written and pronounced almost the same in Korean language.
Love: 사랑 (sarang)
People/Human: 사람 (saram)

Wind/Breeze: 바람 (bbaram)
Pride: 자랑 (jarang)


PS.
The very sweet and touching about this song is: Namjoon has never use the word "love" or "사랑" in his previous songs and lyrics before. I remember he mentioning about this before in one of the video in Vlive (maybe?), that he has some kind of hate/fear towards the word or towards love. But here he dedicated the whole song for the word 'love', even the title.
Share:

Tuesday, July 31, 2018

Serpihan Pasir

“In everybody’s life there’s a point of no return. And in a very few cases, a point where you can’t go forward anymore. And when we reach that point, all we can do is quietly accept the fact. That’s how we survive.”
“And once the storm is over, you won’t remember how you made it through, how you managed to survive. You won’t even be sure, whether the storm is really over. But one thing is certain. When you come out of the storm, you won’t be the same person who walked in. That’s what this storm’s all about.”
― Haruki Murakami, Kafka on the Shore


Kadang aku ga ngerti kenapa aku lemah sama hal-hal kayak gini.
I mean, it's not even my problem.
But here I am, staying awake, unable to sleep, and trying to let all of this emotion go by writing this post.
So that I can stop the urge to cry and feel the misery.

Rasanya ga cuma bikin aku feeling hopeless, tapi juga bikin aku merasa restless dan nelangsa.
Jauh lebih hopeless dibanding waktu sesenggukan nonton My Mister.
Pengen teriak buat ngelepasin emosi, tapi apa daya cuma bisa netesin air mata.


Mungkin, kerna ini ga cuma di drama tapi di kehidupan nyata.
Bukan cerita baru, bahkan sebenarnya udah berlalu.
Tapi ntah lah, kok ya hidup gini amat ya.
Kalo aku yang dengar aja rasanya gini, gimana orang yang ngejalani.
Ya Allah, mungkin aku ga akan kuat.
Ngebayanginnya aja aku ga kuat.


Tapi ya memang hakekat manusia adalah makhluk yang punya kemampuan survival.
Mungkin kerna itu disebutkan bahwa "Allah ga akan ngasih cobaan yang ga bisa diatasi hamba-Nya".
Ketika kamu mampu mengatasi hal besar, tanpa kamu sadari kamu juga sudah bertambah besar untuk melaluinya.

Apalah aku ini, yang sekarang jadi ngerasa ternyata masalah-masalahku mungkin cuma serpihan pasir di lautan.
Share:

Wednesday, June 06, 2018

Ramadhan 1439 H

Udah bertahun-tahun ga ikutan tarawih berjamaah di Masjid dekat rumah.
Masjid paling dekat rumah, yang di Gg. Kopral.
Yang cuma 5 menit jalan kaki.
Biasanya, dulu, kalo tarawih, pasti ke Masjid Jl. Cipto.
Yang lebih besar. Lebih rame. Tapi lebih jauh.
15 menit jalan kaki.

Kapan ya, terakhir sholat disini.
Ga ingat.
Kayaknya dulu pernah sih disini.
Setelah marbot Masjid Jl. Cipto ganti sama sekelompok orang bersorban.
Tarawih yang tadinya 11 rakaat jadi 23 rakaat.
Trus agak beda aja sama yang dulu-dulu.
Sejak itu, kalo ga salah, udah jarang sholat disana.


Selalu suka tarawih di Siantar.
11 rakaat tapi sering ada ceramah-ceramah singkat diantara isya dan tarawih.
Sholatnya santai, ga buru-buru kayak dulu di Bogor waktu S1.
Bilal nya juga enak didengar.
Bacaannya lebih lengkap, dibanding di Bogor, ataupun di Jakarta.
Dari dulu selalu suka sama bilal tarawih.
Malah dulu semangat banget tarawih di Jl. Cipto kerna bilalnya.
Hahaha. Receh.


Semalam, topik ceramahnya tentang doa.
10 menit. Sederhana.
Bahwa doa ga selalu diijabah secara langsung, tapi bisa jadi dijawab melalui hal lain.
Bapaknya juga mengingatkan kalo berdoa yang positif-positif.
Walaupun benci sama orang, bukan berarti lantas mendoakan yang buruk-buruk untuk orang tersebut.
Termasuk dalam konteks lebih besar.
Suka sama suara lembut Bapak ustadz nya.
Suka juga sama topiknya.


Jadi keingat, beberapa malam lalu, Ibunya temen dengerin ceramah dari laptop sambil kerja di meja makan.
Ntah dari youtube atau dari mana, ku lagi bantuin masak di dapur.
Jadilah ikutan denger itu ceramah.
Ga yakin apa memang kebetulan topiknya begitu, atau memang kebetulan lagi dengerin ustadz yang memang ahli di topik ini.
Intinya dari sebagian ceramah yang terdengar, isinya membandingkan antara Islam dan Kristen.
Berat. Bahkan membahas mengenai 'Allah' dan 'Tuhan'.
Perbedaan konteksnya dalam Islam dan Kristen.
Dan, ntah ini subjektif pribadi atau gimana, sangat menekankan bahwa 'this one is right and that one is wrong'.
Dengan agak sedikit bersemangat.
Bahkan, menganjurkan pendengar untuk mencoba mengajak umat non-Muslim berdiskusi, termasuk mengenai topik tadi.
Beliau bilang agar saling memahami ajaran masing-masing.


Sebenarnya dari awal dengerin ceramahnya, udah ngerasa super gregetan.
Gregetan aja, sama tipe-tipe ceramah yang secara halus menebar kebencian model gini.
Ya buat apa sih ngebanding-bandingin.
Kenapa ga fokus di mengingatkan untuk berbuat kebaikan aja.
... and I'm fully aware that this is fully my own subjective.
Yah, mungkin memang beda audiens dan beda acara kali ya, jadi beda konteksnya.
Mbuh lah.

Paling kaget ketika dengar Bapaknya justru mengajurkan untuk mengajak diskusi.
'Wah, this is totally the opposite dari apa yang diajarkan guru agama dulu'
Dulu, guru agama, ataupun murobbiyah, menekankan banget untuk ga 'sok tau' soal agama,
terlebih ke penganut agama lain, kalo memang masih belum menguasai dengan benar.
Khawatir malah menyampaikan hal yang salah.
Hmm..
Yaudah, gitu aja.


Annyeong.
Share:

Saturday, May 26, 2018

If Only

If only we can hear each other mind
Will it be better?
Or worse?


I'm tired of trying to say the things in my head
and trying to see what other people think about

I'm not sure if words are enough
Even sometimes they make things more confusing


If only we can hear each other mind
...and understand each other without saying much


But maybe I need to hear my mind
and understand what's really going on in my head
Share:

Thursday, May 24, 2018

Magic Shop

Lyrics & Composer: Jungkook, Hiss noise, RM, Jordan “DJ Swivel” Young, Candace Nicole Sosa, ADORA, J-Hope, Suga




[English Translation]

[V] I know you’re hesitating
Because even if you tell the truth, it’ll come back as scars
[Jungkook] I won’t say clichéd things like “have strength”
I’ll just listen to you, listen

[RM] What did I tell you?
I told you you’d overcome
You didn’t believe (really)
Will we be able to overcome?
This miracle
Did we make it?
(No) I was always here
You came to me
I do believe your galaxy
I wanna hear your melody
The stars in your Milky Way
How will they appear in your sky?
At the end of my despair
I found you, don’t forget
You’re my last reason
Standing at the edge of a cliff
Live

[Jin] Days when you hate that you’re you
Days when you wanna disappear
Let’s make a door in your heart
[Jimin] If you open that door and go inside
This place will be waiting for you
It’s ok to believe, it’ll comfort you, this Magic Shop

[Jungkook] As you drink a cup of warm tea
As you look above to the Milky Way
[Jimin] You’ll be alright, oh this is a Magic Shop

So show me
(I’ll show you)
So show me
(I’ll show you)
So show me
(I’ll show you)
Show you show you

[J-Hope] Like a rose when blooming
Like a cherry blossom when scattering
Like a lily when withering
Like those beautiful moments
[Suga] I always wanna be the best
So I was always impatient and anxious
Comparing myself became a daily thing
My greed that used to be a weapon
Became a prison and noose
But looking back, to be honest
I don’t think I wanted to be the best
[J-Hope] I wanted to be someone’s comfort
I wanted to touch someone’s heart
I want to take away your sadness, your pain

[Jungkook] Days when you hate that you’re you
Days when you wanna disappear
Let’s make a door in your heart
[Jin] If you open that door and go inside
This place will be waiting for you
It’s ok to believe, it’ll comfort you, this Magic Shop

[V] As you drink a cup of warm tea
As you look above to the Milky Way
[Jin] You’ll be alright, oh this is a Magic Shop

So show me
(I’ll show you)
So show me
(I’ll show you)
So show me
(I’ll show you)
Show you show you

[V] If I told you I used to be scared of everything too
Will you believe me?
All of the truth, all of the remaining time
[Jimin] All of your answers are in this place that you found
In your Milky Way, in your heart

You gave me the best of me
So you’ll give you the best of you
You found me, you recognized me
You gave me the best of me
So you’ll give you the best of you
So I’ll find you, the galaxy that’s inside of you

So show me
(I’ll show you)
So show me
(I’ll show you)
So show me
(I’ll show you)
Show you show you


Source: pop!gasa
Share:

Wednesday, May 23, 2018

Tuhan Dimana?

Ayumi (3 yo): [Nunjuk imam tarawih] "Bun*, itu Tuhan?"
Sarifah (22 yo): "Bukan Yum, itu imam sholat."
Ayumi: "Trus, Tuhan dimana?"
Sarifah: [Bengong] ".. Tuhan itu jauh, Yum."
*Bun aka. Bunde aka. Bude aka. Tante


Ayumi ni emang terlalu bijak & kritis (& kurang ajar kadang, hahaa).
Kadang suka lupa kalo doi masih 3 tahun.
Terlalu dewasa untuk anak seusia dia.
Bingung ya, susah ternyata ngedidik anak itu.
Trus keinget mata kuliah Psikologi Anak sama Perkembangan Keluarga yang dulu sempat diambil jadi supporting course.
Aneh banget yak, jurusan Meteorologi Terapan tapi supporting course-nya dari IKK.
Ya sebenernya dulu maunya Minor Tekling, tapi apa daya jadwal ga cocok.
Yaudah sekalian ambil IKK yang pasti bakal kepake, bakal dipraktekin.
Kepengen Minor Fisika Modern juga tapi males banget kalo mesti ngambil elektronika.



Back to topic.
Kalo ada anak kecil nanya Tuhan dimana, baiknya jawab apa sih?
Soalnya aku juga ga tau jawabannya. Haha #tawagetir

Jadi ingat dulu waktu masih SD sering banget nanyain Mamak hal-hal aneh.

"Mak, kalo umur & rejeki udah ditentuin Allah dari sejak kita lahir,
ngapain kita masih berdoa minta dikasih umur panjang sama rejeki berlimpah?"


"Mak, kenapa sih sholat mesti ngehadap Ka'bah?
Kayak seolah-olah kita menyembah Ka'bah gitu ya.
Padahal Ka'bah itu kan cuma bangunan kotak ditutup kain hitam.
Apa bedanya kita sama orang Hindu yang nyembah patung.
Trus kan katanya Allah ada dimana-mana."


Trus, Mamak cuma bilang:
"Ga usah kau pikirin kali hal-hal kayak gitu, gilak nanti kau."

Hahahahaha
Sampe sekarang juga masih suka nanya hal-hal aneh yang seharusnya ga ditanya sih.
Makanya pasti bingung kan kalo ditanyain anak kecil gitu.

Selama ini alasan kenapa suka banget sama ilmu fisika modern juga gegara penasaran aja sih.
Penasaran sama Allah.
Eh, maksudnya, sama ciptaan-Nya.
Dan semua penjelasan dibalik itu semua..

Duh, jadi kepengen beli teleskop lagiiiii.
Tapi disini mah susaaah makenya.
Heu
Share:

Friday, May 04, 2018

Rindu

Ah, suasana ini.
Sudah lama aku tak di sini.
Diantara wajah-wajah lelah itu.
Wajah-wajah lelah yang berusaha mengusir bosan dengan birunya layar ponsel di genggaman.
Ponsel-ponsel investasi.
Ponsel-ponsel yang menemani satu dua jam perjalanan dalam diam,
diantara aroma penat yang memenuhi udara.

Mendadak aku merasa sepi.


Tujuan terakhir.
Aku melangkah keluar.
Terdiam sejenak untuk menikmati udara bebas yang mengisi paru-paru.
Udara dingin dan lembab.
Hujan akan turun tak lama lagi.
Aku berjalan bersama ratusan langkah kaki yang bersemangat.
Bersemangat untuk segera pulang.
Pulang menuju hangatnya ruang makan, ruang keluarga,
dan hangatnya pelukan.
Menikmati penghujung minggu yang tak akan berlangsung lama.


Jalanan ini.
Jalanan yang tak asing.
Jalanan yang dipenuhi berbagai kehidupan.
Jalanan yang sama,
yang tak berubah barang sedikit pun.

Tetesan kecil hujan mulai membasahi dua kaca bening yang terpasang di depan mataku.
Menciptakan butiran-butiran samar yang memantulkan cahaya jalanan.
Tak perlu lensa kamera untuk melihat bokeh itu.


Aku menengadahkan wajah.
Menikmati rintik yang tak lagi ragu untuk jatuh.
Menetes dan mengalir di pipi.
Sensasi yang baru kusadari sudah lama tak kurasa.
Ah, I don't even know if it's a good thing or a hidden caution.


Langit kelabu.
Tak seperti malam kemarin.
Malam dengan Saturnus dan Jupiter yang bersinar terang menemani.
Juga beberapa bintang,
yang hanya terlihat dengan bantuan dua lempengan kaca kecil ini.
Malam dengan bulan yang tak lagi penuh.
Malam yang membuat aku rindu.
Rindu akan mimpi-mimpi yang terlupakan.

~
Share:

Wednesday, May 02, 2018

Crazy Rich Asians

“I'm telling you, this so-called 'prosperity' is going to be the downfall of Asia. Each new generation becomes lazier than the next. They think they can make overnight fortunes just by flipping properties and getting hot tips in the stock market. Ha! Nothing lasts forever, and when this boom ends, these youngsters won't know what hit them”
― Kevin Kwan, Crazy Rich Asians

It was actually not a surprise that one (big) family (may) hold a big control and influence on the economy of one region, here in Asia or maybe the world.
What amazed me more was the 'actual' lifestyle of jet-setters and the Big Moneys.
Well, I know some of them do have private jet, or some others buy hundred/thousands million dollar of bags or clothes just like buying some peanuts in Alfama*t or Indo*aret.
But, to get 'the real' exposure of what (could be) really happening, it's just, WOW, WOOOWWW.
To be honest, I couldn't fully imagine most of the descriptions of the house, the clothes, expensive cars, and other related matters.
Such as the material used for the building, all the gold coated, the couture.
I don't even know how expensive marble flooring is.
At least I know it looks fancy (and expensive). But never really care about the price (I couldn't afford it anyway).
Thanks to this novel, I got some enlightenments.


I read this book by the influence of Noyara.
She told me that she never really notice how 'big' Singapore is (or could be) until she read this book.
So I was intrigued and decided to borrow the book from her when we were in her house in Purwokerto.

The main plot itself is not that fresh, it's just like any other Korean Drama story.
A super charming boyfriend and his super rich family (like, SUPER), crazy mom (and her friends), some crazy bitches and all the drama.
I am actually a little bit disappointed with the ending.
It may look like a happy ending for Rachel and Nick, but I am more interested on how they are going to solve the problems or how they face the issue.
And what may happen in the longer term after, if possible, their marriage.

The kind of family tradition is common in Asia. Except one country may have slight difference from the others.
People may vocal on anti-racism, but not that many involve in anti-classism.
And it is not easy to be changed.
It's already running for generations.
Making it more like the identity of the people, and the society.
So I was actually curious about what solution Kevin Kwan might propose for the issue.
In fact, he didn't give any (in this book).

I was also a bit curious about what might happen to Astrid and her family.
Somewhat touched by the unchanging love of Charlie (but felt the irony at the same time).
But I really want to know what Michael would do in the end and how he feels about it.


Apart from my dissatisfaction with the ending and the main story, this novel is still recommended for a light reading in between daily activities.
Especially with all the 'wow'.
And I heard that they are going to release the film soon!
Whoa..
We (me and Noya) are definitely going to watch it.


P.S
Anyway, I just knew (right now, at this moment, after I wrote this long review) that the story is a sequel.
So that's why so many things are left unclear!
Kemana aja Ziii.
SO, basically this is the first book. Followed by China Rich Girlfriend and Rich People Problems.
Ah, I wonder if I should read both of them.
Maybe I should (?)
Share:

Tuesday, April 17, 2018

Tell Me Something Good

"I know and that's why I can't have you tied to me. I don't want you to miss all the things that someone else can give you. And selfishly I don't want you to look at me one day and feel even the tiniest bit of regret or pity."

Been wanting to read Jojo Moyes books for long, but ended up watching it first.
Actually, I never wanted to watch movies or read books if it doesn't have a happy ending.
And I didn't know that 'Me Before You' is one of them.
But, strange enough, I didn't feel as much betrayed after I finished watching it.
I didn't feel as sad as I usually do.
It just made me.. helpless.. and depressed.
*well, I guess it does sound like 'sad'
And the aftereffect lasts even until now.


Sebenernya sempat ngerasa (dan berharap) Will bakal berubah pikiran, but he didn't.
Trus aku jadi kepikiran.
Kalau dia memang benar-benar sayang, kenapa dia memilih untuk mati?
Apakah memilih untuk mati menunjukkan kalau dia lebih sayang, atau justru egois?
Mungkin bisa jadi keduanya.
He didn't have any other option whatsoever.
And I guess deciding to let her go, or in this case, deciding to go himself, is for a greater good.


Trus jadi teringat obrolan tentang lirik lagu Dewa19, Dewi, di mobil 2 malam lalu.
Bahwa ketika mencintai seseorang, akan lebih mudah untuk mati lebih dulu,
daripada harus menjadi orang yang harus melanjutkan hidup tanpa orang yang dicintai.

Sejujurnya sampai sekarang masih agak sedikit mengganjal.
Emang bener ya?
Bukannya sama-sama susahnya?
Apalagi mengingat ketika kamu yang mati, kamu ga punya pilihan lain.
Tapi kalau kamu yang melanjutkan hidup, at least kamu masih punya kesempatan lain.
Banyak kan, orang yang ditinggal mati suami/istri nya, lalu kemudian menikah lagi dan menemukan kebahagiaan lain.
Namanya juga manusia, natural instinct to survive.
(Trus kembali ke pertanyaan lama, kalau kayak gitu, jodohnya yang mana? Halah..)


Tapi kayaknya dua hal ini bukan hal yang sebaiknya dibahas berlarut-larut.
Apalagi kalau menyangkut soal mati.
Apapun mengenai kematian adalah sebuah misteri sampai kamu ngerasain sendiri.


The main point is I really enjoy the film. That's it. Annyeong.
Share:

Wednesday, April 11, 2018

Pathetic



Pernah ga sih, ngerasa ga siap sama sesuatu yang baru?
Mungkin, mostly semua orang bakal ngerasa hal yang sama ya.
Kayaknya ini alasan paling besar kenapa akhir-akhir ini rasanya demotivated gitu buat ngelamar kerja.
Kerna emotionally belum siap untuk terjun ke dunia kerja.
Terlebih lagi, lowongan kerja yang menarik perhatian juga bisa dihitung pake jari.
Apalagi lowongan yang akunya qualified..#sigh #meratapinasib


Sebenernya sih, dulu sempat berketetapan kalo mau santai-santai dulu aja abis lulus.
More or less 3 bulan ga mau kerja dulu gitu.
Tapi kan tetap aja ya, nyari kerjanya mesti dari sekarang.
Mana uang semakin menipis, banyak pengeluaran tak terduga, yang jauh di luar perencanaan.
Budget yang dengan susah payah disisihkan disela-sela memenuhi hasrat jalan-jalan ternyata umurnya ga panjang.
Ah, sedih..
Saatnya kembali ke realita kehidupan.


Kata orang, semua tergantung pilihan.
Ya sih..
Dari dulu juga begitu, ga cuma sekarang kan.
Tapi ntah kenapa yang sekarang ini rasanya memilih salah satu jadi jauh lebih berat.
2-3 tahun lalu, sering kali pilihan masih dibumbui ego.
Sekarang, bahkan untuk egois pun susah.
Saat idealisme dihadapkan dengan materi..


Bicara soal materi, 2 hari lalu, sempat merasa tercekat di jalan pulang ke kosan.
Sore itu panas dan gerah. Jalan berdua bareng noya, tanpa banyak ngobrol.
Lagi galau mikirin semua pengeluaran di luar dugaan, juga mikirin gimana caranya berhemat untuk ke depan.
Mikirin beli apa buat makan malam, sambil berusaha keras menahan diri buat ga jajan minuman dingin.

Di depan terlihat seorang Bapak berjalan dengan kaki, maaf, pincang.
Kaki kanannya lebih kecil dari kaki kiri.
Bajunya lusuh, tanpa barang bawaan apapun.

Kami berjalan beberapa langkah di belakang Bapak tersebut.
Tak jauh di depan terlihat seorang Bapak tua duduk di pinggiran trotoar sambil memegang mangkuk plastik kecil di depannya.
Jujur waktu itu aku ga terlalu memperhatikan Bapak tua ini.
Karena di sepanjang trotoar yang kami jalani banyak orang duduk sambil menjual barang dagangannya.

Kejadian itu berlangsung kurang dari 5 detik.
Tanpa aku duga, Bapak di depan kami berhenti, merogoh kantung celananya, lalu menjatuhkan sejumlah uang (ntah itu kertas atau koin), ke mangkuk Bapak tua tadi, lalu kemudian melanjutkan jalan.

Aku merasakan gelombang perasaan yang aneh selama sepersekian detik.
Namun karena momentum langkah kami, aku hanya dapat terus berjalan sambil melirik ke Bapak tua tadi, lalu memandang kosong ke Bapak di depan kami.

....... Saat itu juga aku merasa diri ini sangat kecil dan menyedihkan.


Entah apa yang ada di pikiran Bapak tersebut ketika dia menyerahkan uangnya,
yang mungkin akan sangat berharga untuk keperluan hidupnya yang lain, ke Bapak tua tadi.


Atau, mungkin harusnya pertanyaan di atas dirubah.
... Entah apa yang aku pikirkan selama ini sehingga bisa menjadi pribadi yang semenyedihkan ini.
Share:

Friday, March 16, 2018

160318

Annyeong..
Dah lama banget ga nulis.
There were so many things going on in my head these recent months, even until now.
Jadi gitu ya, kalo terlalu banyak jadinya bingung mau nulis yang mana dulu.
Ujung-ujungnya jadi ga nulis apapun.
Makanya yang berlebihan ga baik, just enough is enough.
But sometimes your mind is not your mind.
It has its own space and time
.


Udah seminggu lebih di rumah, hampir literally doing nothing.
Tapi tidurnya malam mulu, pagi bahkan, heran kan.
10 hari di rumah, kayaknya cuma keluar 5x, itu juga 2x nya kerna kondangan.
2x kerna butuh ambil uang trus beli hadiah buat kondangan and kirim paket,
trus sekalinya yang bener2 keluar malming kerna diajakin nopi and suaminya makan di luar.
Selebihnya, mostly spent at home, di kamar.
50% maen candy crush.
My life..


Kemaren pas nyampe rumah, langsung sakit.
Tapi memang udah ga enak badan dari sejak di Belanda, gegara cuacanya dingin banget, super dingin.
Pas minggu wisudaan, real feel sampe -20! Gila sih
Hari-hari terdingin selama 2 tahun di Belanda.
Begitu di Indo langsung 30 derajat.
Nyampe rumah langsung nge-drop, flue batuk dan hampir demam.
Tapi langsung minum obat trus 2-3 hari lumayan enakan.
Kayaknya gegara capek jalan2 pas ke scandinavia dingin-dingin maen salju berhari-hari.
Trus nyampe Belanda disambut extreme cold juga.
Trus mendadak pulang, super panas and lembab.
Jadinya yaudah deh.


Hampa banget hape rusak, slot buat kartunya ga ngebaca.
Jadi lagi dibenerin.
Kepikiran beli hape baru tapi ga dulu deh, masih banyak yang butuh dibiayain.
Lagian hapenya masih bagus juga, walaupun kadang suka nge-hang tiba-tiba.
But overall performance nya masih oke.
Jadi yaudah tadi dianter ke reparasi buat ganti slot kartu baru.
Mayan, cuma 150ribu.
Besok juga udah bisa diambil sih.
Ini juga akhirnya pelarian kesini kerna ga ada yang bisa dipake buat nge-blank doing nothing but candy crush.


Beberapa hari ini lagi suka dengerin laguya Roy Kim, "Only Then", gegara denger cover-an JK di soundcloud.
Padahal awalnya ga tau lagu ini, baru release bulan kemaren.
Release pas lagi jalan2, trus ga update.
Biasanya lagu Roy Kim yang suka banget aku dengerin cuma "Maybe I" sama "When Autumn Comes".
Trus ternyata yang baru ini juga bagus, tipe-tipe lagu yang aku suka dengerin rewind terus-terusan.
Awalnya rewind di soundcloud yang dicover JK, trus rewind versi asli di Spotify, trus rewind ganti-gantian.
Haha..ga penting banget ya.


Trus ini sekarang sambil nulis sambil dengerin "4 o'clock" rewind nonstop.
Ga tau kenapa tetiba tadi iseng buka-buka soundcloud BTS trus dengerin beberapa lagu yang ga ada di spotify.
Trus lihat 4 o'clock, terjebak dan ga bisa lepas.
Gegara liriknya yang terlalu deep.
Tipikal lagu-lagu Namjoon.

Sejujurnya ku suka Namjoon kerna lirik-liriknya yang sentimental.
Tapi in general, lagu-lagu BTS yang paling aku suka, mostly lagu yang music tone-nya Yoongi banget, dan mostly HYYH era.
Kecuali "Epilogue: Young Forever", yang kalo ga salah co-producer nya Namjoon.
Sama "Sea" yang kata Namjoon lagu yang dia buat pas kapan tau tapi baru dimasukin album yang baru dan versi asli nya cuma ada di album jadi hidden track.

"Ocean, desert, the world
Everything is the same thing
Different name
I see ocean, I see desert, I see the world
Everything is the same thing
But with a different name
It’s life again"


Trus kenapa jadi ngomongin BTS.
Hahahhaa
Maap ya, bangtan trash banget. Receh banget emang hidup gue.

Yaudah deh, bingung juga mau ngomongin apa.
Lagi belum ada energy to put some extra effort dan nulis yang lebih bermakna.
Sebenernya ini juga pelarian dari tugas kompilasi analisis riset intern yang ga juga dikerjain sampe sekarang.
Padahal janjinya ke Alina, supervisor di kantor internship, bakal kasih awal february.
Dan sekarang 17 Maret.
Nice.
Share:

Thursday, January 04, 2018

Yet, We Are Merely Human After All

It's already the third week of December and this is my first post this month.
Sigh
Been refraining myself to write anything but the internship report.
Turned out I just refraining my ability to write anything because of too many thoughts that piling up and absorbing my energy.
And the determination to write the internship report is left as a spoilt motivation.


So many things happened these few weeks.
I moved to a new apartment, 40 minutes away from the office (25 minutes tram and 15 minutes walk).
My new landlady is a very nice person.
I went to Paris with Dissa as a weekend getaway.
My birthday.
My simulations..
But I will talk about that later, in detail.
This is not my first intention to write this post.


I've been shocked by the news about Jonghyun suicide since yesterday.
I didn't expect that it would hit me this hard, but apparently, it did.
To the point that I couldn't sleep up till half past 3 this morning.
I am not even a shawol.
And I couldn't imagine what if I am.


Most people might say that I'm too much.
I agree.
People might say that my opinion is biased, as I'm a Kpop lover myself.
I agree.
And of course, Shinee is one of the groups that made me fall in love in Korean pop song.

But almost no opinion is unbiased.
Aren't all the things in this world relative?
Relative to your position? and your point of view? and your time? your perspective?
That's why I never want to judge people for whatever things they do.
I tried hard not to put a true or false label on other people actions.
I don't have the right to judge people as I never stand on their point.
So I never know every aspect of their life.


I feel so sad that some of my friends and even families, easily put label on people just because of the general knowledge about their community.
And it is unfortunate that some people find other people are not worth as much just because they have different religions.
I'm not saying that it is right to mourn over one single Korean singer who committed suicide and not to mourn over thousands of people in Palestine who struggled in a long-lasting war with Israel.

War (+politic, +religion) and mental health are definitely two different issues.
Please understand that it is easier for most people to relate to the latter topic as it is something that many people experienced.
Something that most people can relate to, it is so close in their daily life.
Of course, not many people would be able to imagine what it feels like to be living in a conflict country for a long time.
And the inability to 'appropriately' react to this issue doesn't mean that they are not HUMAN.


_________________________________________________________

Actually, I still have a lot to say about this.
But I left this post unfinished for over 2 weeks and now the flame that was burning in me when I started writing this has already over.
Yet I don't want to keep this in the draft.
So it is better to post it like this.

I apologize for those who feel offended.
This is solely my own thoughts that I decided to keep away from my mind.
So I put it here instead.


Annyeong.
Share: